Selasa, 14 Mei 2013

Kisah Rizal Ramli Tentang BBM: Menentang, Malah Dipecat


RIZAL RAMLI adalah sosok anak bangsa yang tak pernah diam membisu ketika menyaksikan “perlakuan” pemerintah yang “tak pantas” terhadap rakyat di Bumi Pertiwi ini.

Hal tersebut diungkapkan oleh Abdul Muis Syam selaku Ketua Presidium Majelis Kedaulatan Rakyat (MKRI) Provinsi Gorontalo saat berbincang-bincang dengan Majalah Perubahan seusai menghadiri Rakernas MKRI, di Jakarta, beberapa waktu lalu.


Muis (sapaan akrab Abdul Muis Syam) menceritakan, tumbuh sebagai bocah yatim-piatu, membuat Rizal Ramli telah terbiasa merasakan pahit getirnya mengarungi kehidupan yang amat keras. Sehingga, menurut Muis, perjuangan bagi Rizal Ramli bukan hanya sebatas kata, tetapi telah menyatu bagai roh di dalam tubuhnya sejak dahulu, yang mampu menggerakan sendi-sendi perlawanan apabila kepentingan dan hak-hak rakyat coba “dirampas” oleh pemerintah atau penguasa yang dzalim dan serakah.

“Sehingga keliru, jika ada yang menilai Rizal Ramli melakukan kritikan dan gerakan perlawanan saat ini karena ingin mendapatkan posisi sebagai pejabat negara atau dan lain sebagainya. Rizal Ramli bukan tipe aktivis yang gila jabatan. Dan beliau (Rizal Ramli) bukan tipe penjilat. Beliau adalah seorang Tokoh Nasional sekaligus aktivis sejati yang selalu siap tampil di barisan terdepan membela kepentingan rakyat,” ujar Muis.

Sebab, menurut Muis, Rizal Ramli melakukan perlawanan dan kritikan keras kepada pemerintah yang tak peduli dengan keinginan rakyatnya, itu bukan hanya diperlihatkan pada saat ini saja, tetapi sudah dilakukannya sejak masih berstatus sebagai mahasiswa di ITB.

Kala itu, jelas Muis, Rizal Ramli dengan keras dan tegas menentang dan menolak Soeharto untuk kembali sebagai Presiden tahun 1978, baik melalui demo maupun dengan menyusun “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB”.

Dari perlawanannya inilah, lanjut Muis, yang membuat Rizal Ramli dipaksa mendekam dalam penjara di bilik yang pernah dihuni oleh Sang Proklamator Soekarno, di Sukamiskin, Bandung, selama satu setengah tahun. “Tentu saja pemerintah Orde Baru menganggap Rizal Ramli adalah orang yang paling berbahaya dan bisa menghambat tumbuhnya kekuasaan otoriter Soeharto,” pungkasnya.

Jadi sekali lagi, ujar Muis, bukan hanya pada saat-saat sekarang ini saja Rizal Ramli melakukan perlawanan dan kritikan tajam terhadap pemerintahan yang dinilai tidak pro-rakyat, tetapi itu sudah dilakukannya sejak dahulu. “Dan beliau murni memperjuangkan suara dan hak-hak rakyat kecil, bukan karena ingin mendapat posisi penting dan strategis di pemerintahan dan sebagainya. Karena dulu saja beliau berani dan rela mengorbankan dirinya di penjara demi menunaikan perjuangannya untuk rakyat. Hanya saja memang kritikan beliau itu selalu muncul di saat-saat mendekati moment pemilu karena di saat bersamaan pula memang pemerintah ingin mengeluarkan kebijakan yang tak pro-rakyat. Jadi momentnya cuma kebetulan saja bersamaan,” jelasnya.

Moment yang dimaksud Muis adalah kebijakan pemerintah yang ngotot ingin menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di saat mendekati Pemilu, sehingga kritikan Rizal Ramli pun muncul di saat bersamaan dengan moment tersebut.

Muis yang juga Ketua DPD Partai Kedaulatan Provinsi Gorontalo itu juga me-review tahun 2008, bahwa boleh jadi karena pandangan kritis dan kritikan tajam yang dilontarkan Rizal Ramli yang menuntut agar harga BBM tidak dinaikkan membuat pemerintah SBY-JK saat itu merasa gerah, galau dan panik. Terlebih karna ketika itu Rizal Ramli sempat ikut demo dan berada di barisan paling depan bersama 10.000-an aktivis dan mahasiswa bersama rakyat di depan Istana Negara.

Sementara itu di tempat terpisah, Rizal Ramli mengakui dirinya memang selalu tergerak bersama rakyat untuk menolak semua kebijakan pemerintah yang dinilai justru hanya memperkaya kelompok tertentu dan menyengsarakan rakyat kecil.

Rizal Ramli bahkan mengaku pernah (tahun 2008) menantang dan mengajak Presiden SBY untuk berdebat secara terbuka mempersoalkan kenaikan harga BBM. “Kalau perlu ajak sekalian seluruh menteri ekonominya, kita diskusikan cara-cara alternatif tanpa perlu menaikkan harga BBM itu,” ujar Rizal Ramli.

Tetapi ajakan dan tawaran diskusi itu tak kunjung terjadi. Malah yang terjadi adalah pencopotan dan pemecatan dirinya dari posisi Presiden Komisaris PT. Semen Gresik melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) PT. Semen Gresik, 27 Juni 2008 silam. Padahal ketika itu kinerja PT. Semen Gresik sedang berada di puncak, bahkan mencatat kinerja terbaik sepanjang sejarah.

Dan kini, Rizal Ramli kembali menentang dan menolak kenaikan harga BBM karena lagi-lagi dianggap hanya menambah kesulitan ekonomi rakyat kecil. Meski itu diikuti dengan pemberian BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat).

BLSM sendiri adalah pengganti istilah dari BLT (Bantuan Langsung Tunai). Namun logika politik tentu saja mengarah bahwa, kenaikan harga BBM dan pemberian BLSM adalah bagian dari cara-cara “licik” yang dilakukan oleh partai penguasa beserta koalisinya agar tetap kokoh bertahan dalam lingkaran kekuasaan. Sebab, naiknya harga BBM selain bisa tambah memperkaya para mafia migas, juga akan menambah isi pundi-pundi penguasa agar dapat memperoleh cost-politic memadai pada pemilu 2014. Sementara BLSM boleh jadi hanyalah “money-politic’ terselubung agar rakyat tetap memilih partai penguasa saat ini. Jika hal ini benar, maka BLSM bisa menjadi Beli Langsung Suara Masyarakat.

“Jika harga BBM tetap naik, maka tentu saja seluruh harga barang-barang ikut naik, sehingga diyakini subsidi atau bantuan BLSM tak punya nilai tambah apa-apa buat rakyat,” lontar Rizal Ramli.>map